Ketika sore hari ada tetangga yang bertamu dengan mengenakan pakaian rapih, biasanya dia akan mengundang saya atau siapapun yang di rumah untuk menghadiri ritual keagamaan di salah satu rumah warga.
“Nanti malam ditunggu di rumah Pak Ratman untuk tahlilan, ba’da isya,” begitulah template undangan lisan darinya.
Orang Sunda menyebutnya ‘Ngariung’, sementara orang Jawa di kami menyebutnya ‘Kepungan’. Entah kalau di daerah lain. Intinya, itu adalah acara berkumpulnya warga di RT kami untuk berdoa bersama. Bisa karena tahlilan peringatan 1-7, 100, atau 1.000 hari setelah seseorang meninggal, doa untuk warga yang esoknya menggelar hajatan (menikah atau khitanan), selamatan rumah baru, atau selamatan kelahiran bayi.
Jenis doa atau pujian yang dilantunkan juga beragam, seperti tahlil, tahmid, takbir, selawat, membaca Surat Yasin, bahkan Al-Baqarah. Terkhusus untuk menyambut kelahiran anak/akikah, biasanya kami membaca Kitab Al-Barzanji.
Sang penulis, Syekh Ja’far Al-Barzanji mengulas semua aspek kehidupan Nabi Muhammad SAW dalam kitab tersebut, agar umat Islam meneladani keagungan dan kepribadian Rasulullah.
Saya tidak tahu betul semua arti perkatanya, saya juga yakin warga satu RT saya tidak tahu betul makna tersurat dari kitab tersebut, karena kurang ngaji. Hehe. Tapi, kami begitu dapat khidmat menikmati setiap lantunan syair dalam kitab itu.
Di ujung acara akikahan, bayi yang didoakan digendong ayahnya dan berputar mengelilingi jamaah di ruang utama. Ya, karena terkadang banyak jamaah yang tidak kebagian tempat di dalam, sehingga keluarga menyediakan tikar di teras dan kursi inventaris RT di halaman rumahnya. Sambil dibawa mengeliling, sang bayi juga dilindungi payung oleh keluarganya. Entah untuk menghindari silau atau apa. Para tetua kemudian bergiliran memotong helaian rambut dari sang bayi. Jamaah lain tetap melantunkan selawat.
Saat warga berkumpul di malam hari, saya tidak pernah melihat wajah letih mereka walaupun saat siang, mereka berjuang berpanas-panasan di sawah (mayoritas tetangga saya petani).
Kami bergurau, tentu dengan jokes bapak-bapak, sesekali dibumbui bahasan politik. Tentu itu dilakukan sebelum doa dimulai. Ketika pemuka agama sudah memulai memimpin doa, semuanya hening, khidmat, khusyuk. Satu hal yang membuat saya tidak nyaman adalah asap rokoknya. Bayangkan saja para perokok itu berkumpul. Heuheu.
Setelah acara selesai, setiap warga mendapatkan berkat, begitu kami menyebutnya. Beberapa orang menyebut besek. Bahkan warga yang berhalangan datang pun akan dititipi berkat.
Saat sudah berpindah ke kota, saya rasa sulit untuk bisa kembali merasakan kenikmatan tersebut.
(Ditulis saat menunggu apel malam latsar hari kedua)
Foto: Rasyid Ridho/Sindonews